ALLAH DIATAS LANGIT DAN BERTEMPAT DILANGIT?
Oleh : Muhammad Atim
Jawaban untuk Ust. Muhammad Nuruddin (1)
Banyak sekali dalil-dalil baik Al-Qur'an maupun sunnah yang menetapkan sifat uluw (tinggi) bagi Allah. Tidak ada dalilnya yang menunjukkan pengkhususan bahwa itu adalah hanya sifat tinggi dalam kedudukan-Nya (qadr) atau kekuasaan-Nya (qahr). Tapi jelas mencakup juga tinggi dalam zat-Nya.
Makanya ini menjadi ijma para ulama Ahlus Sunnah Salafush Shaleh bahwa zat Allah itu tinggi di atas seluruh makhluk-Nya. Disebut tinggi di atas langit, karena langit itu adalah makhluk yang ada di atas, dan secara khusus disebut di atas arsy karena arsy adalah makhluk yang paling atas dan paling besar.
Banyak sekali para ulama yang menukil ijma dalam hal ini. Diantaranya :
Imam Al-Auza’i (w. 157 H) berkata :
كُنَّا وَالتَّابِعُوْنَ مُتَوَافِرُوْنَ نَقُوْلُ : إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فَوْقَ عَرْشِهِ وَنُؤْمِنُ بِمَا وَرَدَتْ بِهِ السُّنَّةُ مِنْ صِفَاتِهِ
“Kami dan para tabi’in, seluruhnya, berkata : “Sesungguhnya Allah ﷻ di atas arsy-Nya, dan kami beriman dengan apa yang terdapat di dalam sunnah dari sifat-sifat-Nya.”
(Al-‘Uluw lil ‘Ali Al-Ghaffar, Adz-Dzahabi, hal. 136, Al-Asma wash Shifat, Al-Baihaqi, hal. 1028, Fathul Bari Ibnu Hajar, 13/417).
Ibnu Khuzaimah (w. 311 H) berkata :
مَنْ لَمْ يَقُلْ بِأَنَّ اللهَ فَوْقَ سَمَوَاتِهِ وَأَنَّهُ عَلَى عَرْشِهِ بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ وَجَبَ أَنْ يُسْتَتَابُ فَإِنْ َتَابَ وَإِلَّا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ ثُمَّ أُلْقِيَ عَلَى مَزْبَلَةٍ لِئَلَّا يَتَأَذَّى بِنَتَنِ رِيْحِهِ أَهْلُ الْقِبْلَةِ وَلَا أَهْلُ الذِّمَّةِ
“Siapa yang tidak mengatakan bahwa Allah di atas langit-langit-Nya, dan bahwa Dia di atas arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, wajib untuk diminta bertaubat, jika ia bertaubat, dan jika tidak maka dipenggal lehernya lalu dibuang ke tempat sampah, agar ahli kiblat dan ahli dzimmah tidak terganggu dengan buruknya aromanya.”
(Al-‘Uluw lil ‘Ali Al-Ghaffar, Adz-Dzahabi, hal. 207).
Ibnu Baththah Al-‘Ukbari (w. 387 H) berkata :
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَجَمِيْعِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ فَوْقَ سَمَوَاتِهِ بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ وَعِلْمُهُ مُحِيْطٌ بِجَمِيْعِ خَلْقِهِ وَلَا يَأْبَى ذَلِكَ وَلَا يُنْكِرُهُ إِلَّا مَنِ انْتَحَلَ مَذَاهِبَ الْحُلُوْلِيَّةِ وَهُمْ قَوْمٌ زَاغَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاسْتَهْوَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَمَرَقُوا مِنَ الدِّيْنِ وَقَالُوا : إِنَّ اللهَ ذُاتُهُ لَا يَخْلُو مِنْهُ مَكَانٌ
“Telah ijma kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in dan seluruh ahli ilmu dari orang-orang mukmin, bahwa Allah -yang maha suci dan tinggi- di atas arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, dan ilmu-Nya meliputi seluruh makhluk-Nya. Tidak ada yang menolak itu dan mengingkarinya kecuali orang yang menganut madzhab-madzhab Hululiyyah. Mereka adalah kaum yang hati mereka menyimpang dan disesatkan oleh syetan-syetan, maka mereka telah keluar dari agama. Dan mereka berkata, “Sesungguhnya Allah, dzat-Nya itu tidak ada satu tempat pun yang kosong darinya.”
(Al-Ibanah Al-Kubra, Ibnu Baththah, 7/36).
Abu Umar Ath-Thalmanki (w. 429 H) berkata :
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ عَلَى أَنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ ﴿وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُم﴾ وَنَحْوَ ذَلِك مِنَ الْقُرْآنِ أَنَّهُ عِلْمُهُ وَأَنَّ اللهَ تَعَالَى فَوْقَ السَّمَوَاتِ بِذَاتِهِ مُسْتَوٍ عَلَى عَرْشِهِ كَيفَ شَاءَ
“Telah ijma kaum muslimin dari Ahlus Sunnah bahwa makna firman-Nya “Dan Dia bersama kalian dimanapun kalian berada” dan yang semisalnya dari Al-Qur’an bahwa ia adalah ilmu-Nya, dan bahwa Allah di atas langit-langit dengan dzat-Nya, beristiwa di atas arys-Nya dengan cara yang Dia kehendaki.”
(Al-‘Uluw lil ‘Ali Al-Ghaffar, Adz-Dzahabi, hal. 246).
Abu Utsman Ash-Shabuni (w. 449 H) berkata :
وَعُلَمَاءُ الْأُمَّةِ وَأَعْيَانُ الْأَئِمَّةِ مِنَ السَّلَفِ رَحِمَهُمُ اللهُ لَمْ يَخْتَلِفُوا فِي أَنَّ اللهَ تَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ، وَعَرْشُهُ فَوْقَ سَمَاوَاتِهِ
"Ulama umat dan para tokoh imam dari Salaf rahimahumullah tidak berbeda pendapat bahwa Allah di atas arsy-Nya, dan arsy-Nya di atas langit-langit-Nya". (Aqidatus Salaf wa Ashabil Hadits, Abu Utsman Ash-Shabuni, hal. 176).
Abu Nashr As-Sijzi (w. 444 H) berkata :
أَئِمَّتنَا كسفيان الثَّوْريّ وَمَالك وَحَمَّاد بن سَلمَة وَحَمَّاد بن زيد وسُفْيَان بن عُيَيْنَة والفضيل وَابْن الْمُبَارك وَأحمد وَإِسْحَاق متفقون على أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ بِذَاتِهِ فَوْقَ الْعَرْشِ وَعِلْمُهُ بِكُلِّ مَكَانٍ وَأَنَّهُ يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاء الدُّنْيَا وَأَنَّهُ يَغْضَبُ وَيَرْضَى وَيتَكَلَّم بِمَاشَاءَ
“Para umam kami seperti Sufyan Ats-Tsauri, Malik, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Sufyan bin ‘Uyainah, Fudhail, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq, semuanya sepakat bahwa Allah -subhanahu wata’ala- dengan dzat-Nya di atas arsy, dan ilmu-Nya di setiap tempat, dan bahwa Dia turun ke langit dunia, dan bahwa Dia marah, ridha, dan berbicara dengan yang Dia kehendaki.”
(Al-‘Uluw lil ‘Ali Al-Ghaffar, Adz-Dzahabi, hal. 248).
Ibnu Abdil Bar (w. 463 H) berkata :
وَفِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِي السَّمَاءِ عَلَى الْعَرْشِ مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَاوَاتٍ، كَمَا قَالَتِ الْجَمَاعَةُ، وَهُوَ مِنْ حُجَّتِهِمْ عَلَى الْمُعْتَزِلَةِ وَالْجَهْمِيَّةِ فِي قَوْلِهِمْ : "إنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِي كُلِّ مَكَانٍ وَلَيْسَ عَلَى الْعَرْشِ
“Dan di dalamnya terdapat dalil bahwa Allah ﷻ di langit di atas arsy, dari atas tujuh langit, sebagaimana dikatakan oleh Jama’ah, dan dia merupakan hujjah mereka atas Mu’tazilah dan Jahmiyyah dalam perkataan mereka, “Sesungguhnya Allah ﷻ di setiap tempat dan tidak di atas arsy.”
(At-Tamhid, Ibnu Abdil Bar, 7/129).
Jadi, meyakini zat Allah tidak tinggi di atas langit atau di atas arsy, jelas menyalahi ijma dan nash-nash yang tegas.
Lalu, apakah meyakini zat Allah tinggi di atas langit dan di atas arsy, artinya Ia bertempat di langit atau di atas arsy, yang artinya butuh kepada makhluk yang menyangga-Nya, kalau tidak ada yang menyangga maka akan jatuh?
Tentu anggapan seperti itu tidak benar dan lahir dari pemahaman yang dangkal. Tidak ada satu pun para ulama Ahlus Sunnah yang berkeyakinan seperti itu, bahkan hatta seorang muslim yang awam sekalipun tidak ada yang berkeyakinan seperti itu.
Zat Allah di atas langit sama sekali tidak berarti Allah butuh kepada langit untuk menjadikannya sebagai tempat-Nya. Tidak ada konsekwensi logis seperti itu. Menjadikan hal tersebut sebagai konsekwensi adalah bentuk pemaksaan dan klaim yang tidak bisa diterima.
Anggapan keliru inilah yang menjadi alasan kelompok menyimpang Jahmiyyah dan Mu'tazilah untuk menolak menetapkan sifat tinggi Allah secara zat-Nya, sehingga mereka beralih kepada keyakinan Allah berada mana-mana, yang tidak terpaku kepada arah atau tempat tertentu. Sayangnya alasan yang sama digunakan juga oleh kelompok yang menisbatkan diri pada Ahlus Sunnah yaitu Asy'ariyyah dan Maturidiyyah untuk sama-sama menolak sifat tinggi Allah secara zat-Nya, dan beralih kepada konsep Allah tidak berada di luar alam dan tidak di dalam alam, yang tentu tidak dilandasi dengan argumentasi yang kuat dan jelas.
Secara logika pun sebenarnya mudah memahami dan nenetapkan sifat tinggi Allah secara zat-Nya ini. Hanya para "ahli kalam" itu telah tertutupi dan terbelenggu oleh konsep-konsep yang merumitkan dan membingungkan.
Di antaranya imam Ahmad (w. 241 H) rahimahullah telah mengemukakan hujjah akal berkenaan dengan hal ini. (Lihat kitab beliau Ar-Radd 'alaz Zanadiqah wal Jahmiyyah, hal. 155-156).
Bukankah Allah punya zat? Orang yang imannya benar tentu akan menjawab, ya punya zat. Kecuali berpemahaman bahwa keberadaan Allah hanya sebatas konsep di pikiran, tidak benar-benar ada secara nyata. Tentu kalau seperti itu belum bisa dikatakan meyakini adanya Allah, sama saja seperti Atheis yang tidak meyakini keberadaan Allah.
Kalau Allah punya zat, pertanyaan berikutnya, zat Allah bersatu dengan makhluk-Nya atau terpisah? Kalau dikatakan bersatu, ini adalah keyakinan sesat, menyatunya Allah dengan makhluk, yaitu ittihad atau hulul. Kalau dikatakan terpisah, ketika terpisah itu keberadaan Allah apakah sejajar dengan makhluk-Nya, di bawahnya ataukah di atasnya? Maka jawaban yang selaras dengan nash wahyu dan menunjukkan kemuliaan-Nya, Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya.
Makanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w.728 H) rahimahullah membantah anggapan yang dangkal bahwa kalau meyakini Allah di atas langit berarti bertempat di langit :
"Kemudian orang yang berprasangka bahwa keadaan Allah di langit maknanya bahwa langit meliputi-Nya dan menjadi tempat-Nya maka ia berdusta, jika ia menukil dari yang lainnya, dan sesat jika meyakininya pada Rabbnya. Tidaklah kami mendengar seorang pun yang memahami seperti itu dari lafazh tersebut, dan tidak kami lihat seorang pun yang meriwayatkannya dari seorang pun. Kalau ditanya seluruh muslimin, "Apakah kalian memahami dari firman Allah Ta'ala dan rasul-Nya, "bahwa Allah di langit" bahwa langit itu menjadi tempat-Nya? Niscaya setiap orang dari mereka segera menjawab, "Hal seperti ini tidak pernah terbersit di pikiran kami".
"Apabila perkaranya seperti ini, maka merupakan sikap memaksakan diri untuk menjadikan zhahir dari lafazhnya sebagai sesuatu yang mustahil yang tidak dipahami oleh orang-orang darinya, kemudian ia hendak mentakwilnya. Bahkan di sisi kaum muslimin bahwa Allah di langit dan Dia di atas Arsy adalah semakna. Karena makna "sama" (langit) yang dimaksud tiada lain adalah al-'uluw (tinggi/atas). Maka maknanya adalah bahwa Allah di ketinggian/atas, tidak di bawah. Sungguh muslimin telah mengetahui bahwa kursi-Nya Subhanahu lebih luas dari langit dan bumi, dan bahwa kursi-Nya dibanding dengan Arsy seperti cincin yang diletakkan di padang pasir, dan bahwa Arsy adalah satu makhluk dari makhluk-makhluk Allah yang tidak bisa dibandingkan dengan kekuasaan dan keagungan Allah. Maka bagaimana mungkin setelah memahami ini ada anggapan bahwa makhluk membatasi dan menjadi tempat-Nya?!
Dan sungguh Allah Subhanahu telah berfirman, "Dan niscaya aku akan menyalib kalian di batang pohon kurma" (QS. Thaha : 71), dan Ia berfirman, "Maka bepergianlah di bumi" (QS. Ali Imran : 137), (kata fii/di) adalah bermakna 'ala (di atas), dan yang semacamnya. Itu adalah perkataan orang Arab secara hakikat bukan majaz. Ini diketahui oleh orang yang mengetahui hakikat makna-makna huruf, dan bahwa ia adalah lafazh mutawathi (lafazh umum yang mencakup banyak satuannya) pada umumnya, bukan musytarak (satu lafazh memiliki banyak arti)." (Al-Hamawiyyah, hal. 525-526).
Wallahu Muwaffiq.
t.me/butirpencerahan
Comments
Post a Comment